top of page
Writer's pictureChico Hindarto

RIPOSARE IN PACE, SIGNOR MORRICONE

Saat saya sedang menulis blog untuk di-post hari ini, saya mendapatkan pesan via instagram dari teman baik saya, Levi Gunardi. Levi mengabarkan berpulangnya Ennio Morricone, komposer kita kagumi. Ennio Morricone meninggal pada hari ini, Senin, 6 Juli 2020, dengan usia 91 tahun. Seketika saya hentikan penulisan blog untuk mendengarkan karya-karya Morricone yang menjadi favorit saya sepanjang masa. Saya juga teringat, saya nyaris menonton konser maestro Morricone di New York pada 2014, tapi urung karena lokasi hotel yang terlalu jauh dari lokasi konser. Belakangan saya baru mengetahui bahwa konser yang seharusnya bertempat di Barclays Center itu dibatalkan karena prosedur operasi punggung yang harus dijalankan Morricone pada 20 Februari 2014. Sebagai informasi, saat itu usia Morricone adalah 85 tahun.


Picture credit: enniomorricone.org


Saya mengenal karya Ennio Morricone dari film-film yang disutradarai Giuseppe Tornatore. Eksposur pertama adalah film Cinema Paradiso (Nuovo Cinema Paradiso), yang ternyata merupakan kerjasama pertama antara Tornatore dengan Morricone. Film drama asal negara Italia ini memenangkan Special Jury Prize di Cannes Film Festival 1989, dan penghargaan Oscar untuk Best Foreign Language Film di tahun yang sama. Setelah itu, saya mengikuti film-film Tornatore yang lain, seperti: Everybody's Fine (Stanno Tutti Bene, 1990), The Star Maker (1995), The Legend of 1900 (1998), Malena (2000), dan Baaria (2009). Semua film tersebut bekerjasama dengan Morricone untuk scoring-nya. Morricone mendapatkan anugerah untuk karyanya di Golden Globe Award untuk kategori Best Original Score untuk film Tornatore yang berjudul The Legend of 1900 yang dibintangi oleh Tim Roth. Film pertama Tornatore yang menggunakan bahasa Inggris.


Saya nyaris menonton konser maestro Morricone di Barclays Center, New York pada 2014. Ternyata konser ini dibatalkan karena kondisi kesehatan Morricone.

Karya Morricone banyak menghiasi film-film cowboy, yang disutradarai Sergio Leone di tahun 1965-1966. Bahkan satu karyanya masuk ke film cowboy "masa kini" yang disutradarai Quentin Tarantino, Django Unchained (2012). Tarantino melibatkan Morricone lagi untuk film berikutnya, yang juga bertemakan western, The Hateful Eight (2016). Morricone diganjar Best Original Score untuk The Hateful Eight di beberapa festival film, seperti di Academy Award (Oscar), Golden Globe, dan BAFTA.


Menurut saya, karya Morricone di film tidak saja sekadar memperindah rangkaian gambar dan memperkuat cerita yang disajikan oleh para sutradara. Karya Morricone memperkuat memori saya terhadap cerita di film-film tersebut. Seperti bagaimana gambaran tokoh Tim Roth di Legend of 1900 jatuh cinta dengan seorang wanita yang tidak dikenalnya, dan perasaan tersebut dituangkan dalam Playing Love. Sebagai info, versi Playing Love dengan vokal dinyanyikan oleh Roger Waters dari Pink Floyd, dengan judul Lost Boys Calling. Kelekatan adegan-adegan di Cinema Paradiso di ingatan saya juga dijembatani oleh karya-karya Morricone. Teringat bagaimana hangatnya persahabatan antara bocah bernama Salvatore (Toto) dengan operator proyektor bioskop, Alfredo.


Morricone mampu membuat karya yang indah untuk film bertema cinta atau persahabatan, tapi juga menghasilkan tema yang gagah untuk film-film cowboy. Bahkan ada satu karya Morricone di-cover Metallica, berjudul The Ecstasy of gold. Karya ini sering digunakan sebagai musik pembuka konser Metallica, termasuk saat mereka konser di Jakarta. Lagu Morricone dari Cinema Paradiso yang diberi lirik, berjudul Se, dinyanyikan oleh banyak penyanyi seperti: Josh Groban, Andrea Bocelli, dan Katherine Jenkins.


Karya Ennio Morricone akan selalu abadi untuk para penyuka musik, setidaknya untuk saya yang mendengarkannya lebih dari tiga dekade. Riposare in pace, Signor Morricone.

17 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page