Beberapa waktu lalu, saya membeli buku yang sudah saya lihat lama, tapi belum sempat mendapatkannya. Judul bukunya "The Little Book of Hygge: The Danish Way to Live Well." Buku tulisan Meik Wiking ini sengaja saya tinggal di mobil, untuk bacaan dalam perjalanan di metropolitan yang kembali macet di masa transisi ini. Buku ini bukanlah bacaan yang melulu berisikan narasi mengenai bagaimana bangsa Denmark menjadi bangsa yang paling bahagia di muka bumi.
Karena penulis perlu untuk tidak hanya mendeskripsikan Hygge (dibaca Hyu-geh) secara definisi, tetapi juga perlu menyampaikan suasana hygge dalam bentuk foto, agar dapat ditangkap makna yang lebih dalam mengenai istilah ini. Menurut penulis, istilah ini tidak dapat diterjemahkan secara harafiah saja, karena makna yang tercakup lebih dari sekedar kata-kata. Bahkan, seringkali ekspresi hygge ini juga disampirkan kepada kata kerja, kata benda, atau kata sifat lain yang memuat unsur hygge. Foto yang ditampilkan sebagai representasi hygge tidak hanya untuk menjelaskan mengenai artefak yang membuat hygge, seperti lilin, pot, dan desain interior; tetapi juga menampilkan makanan (termasuk resep pembuatannya), bagian kota Copenhagen yang mengungkit perasaan hygge, dan suasana keakraban antar individu. Selain narasi dan foto, buku ini juga menyajikan ilustrasi dan grafik mengenai fakta yang relevan dengan bahasan.
Buku ini membawa pembaca untuk memahami resep bahagia orang Denmark, yang sebetulnya sudah mendarahdaging menjadi tradisi yang turun temurun.
Kondisi yang dijabarkan di buku ini difasilitasi oleh kehidupan sosial masyarakat Denmark, kondisi lingkungan fisik, dan juga cuaca. Tema setiap bulan selama setahun untuk mendapatkan hygge dijabarkan oleh penulis yang pekerjaan utamanya adalah CEO Happiness Research Institute di Copenhagen. Kondisi kontras antara rasa "nyaman" di dalam rumah, kabin, atau tempat berlindung atas kondisi cuaca yang buruk juga menjadi bagian dari contoh yang beberapa kali dijadikan ilustrasi di buku ini. Dengan demikian, terbentuknya Hygge ini selain bersifat kultural juga didukung oleh kondisi fisik di Denmark. Oleh karena itu, tidak semua cara untuk memperoleh hygge bisa diterapkan di lokasi lain di luar Denmark. Terlepas dari hal itu, sebetulnya bisa dikontekstualkan dengan lokasi setiap wilayah di dunia mengenai bagaimana mereka memperoleh hygge berdasarkan tempat menetap permanen masing-masing. Hal inilah yang membuat saya berpikir mengenai translasi kondisi hygge untuk latar belakang kultur yang berbeda. Sebagai contoh adalah termin "tentrem" dalam bahasa Jawa, yang sangat mungkin bukan terjemahan hygge, tetapi memiliki makna yang lebih dalam dibandingkan dengan pendeskripsian termin tersebut. Apakah latar belakang kultur dan kondisi fisik yang lain juga bisa membangun hygge dalam terminologi yang spesifik untuk setiap lokasi tersebut? Terlepas apakah hasil akhirnya diukur dalam indeks kebahagiaan bangsa, adalah hal yang menarik untuk dieksplorasi lebih jauh. Tujuannya bukan untuk melakukan komparasi antara mana yang lebih memberikan rasa bahagia dibanding yang lain, tetapi untuk mengidentifikasi hygge dengan konteks yang lebih relevan untuk tiap kelompok masyarakat.
Buku ini menarik untuk dibaca dan menjadi bahan renungan sebagai refleksi pembaca atas budaya dimana mereka berada. Saya menduga di setiap budaya ada kondisi yang memicu rasa seperti hygge, namun seringkali terlewat dari perhatian karena sudah menjadi keseharian. Semisal ada berbagai buku yang merepresentasikan pemaknaan rasa bahagia kultur yang berbeda-beda, tentunya akan bermanfaat bagi mereka yang melakukan studi mengenai rasa bahagia dan peminat pembelajaran antarbudaya.
Comments