Selera pribadi untuk musik sangatlah subjektif. Meskipun pengaruh dari lingkungan sosial tidak dapat dihindari, ada selera yang sifatnya personal. Dengan begitu, tidak ada selera dua individu yang benar-benar sama. Pengalaman mendengar musik untuk setiap orang juga berbeda. Ketika seseorang terpapar pada beragam pilihan karya musik, akan ada mekanisme yang sifatnya tarik ulur antara selera pribadi dan pengaruh dari eksternal. Faktor ikut-ikutan akan terjadi pada pribadi yang menginginkan inklusifitas pada kelompok sosialnya, hal ini disebut sebagai bandwagon effect. Namun demikian, ada juga pribadi yang justru menghindari selera musik yang umum. Mereka ingin tampil beda, berkesan lebih baik, lebih luas wawasannya, atau lebih canggih seleranya. Hal ini disebut sebagai snob effect. Dua bentuk efek ini sering kali bukan merupakan dikotomi, tetapi berbaur dalam membentuk selera pribadi dalam mendengarkan musik.
Konsumen musik mendapatkan referensi yang jauh lebih luas pada saat ini. Hal ini difasilitasi teknologi digital yang memungkinkan mereka terekspos dengan karya musik yang jumlahnya sangat banyak. Pendengar dengan mudah mengeksplorasi kelompok musik atau penyanyi dari seluruh pelosok dunia dengan adanya layanan streaming. Peluang ini memperkaya wawasan pribadi untuk membentuk seleranya, sekaligus untuk memindai kelompok pendengar musik di tingkat global. Secara sadar atau tidak, platform streaming memanfaatkan proses eksplorasi para pendengar musik untuk mendukung algoritma yang mereka gunakan sebagai panduan pencarian untuk pendengar yang seleranya mirip. Bentuknya bisa berupa referensi kelompok atau musisi solo yang biasanya disukai ketika pendengar menunjukkan minat dengan mampir ke profil artis. Layanan streaming bisa juga memberikan layanan kepada pelanggan berupa playlist musik atau rekomendasi lagu baru berdasarkan deteksi selera pendengar.
Bentuk layanan streaming bisa berupa audio dan audio-visual. Dengan adanya visual, para pendengar musik terekspos tidak hanya terbatas pada karya musik saja. Mereka juga menyaksikan sajian visual yang menambah pemahaman citra yang dibangun oleh artis musik. Transmisi citra ini termasuk penampilan, cara berpakaian, gestur, riasan wajah, aksesoris, gaya menari, instrumen yang digunakan, dan lain-lain. Intinya, referensi citra yang ditrasmisikan lebih lengkap. Meskipun fenomena seperti ini telah terjadi di masa lalu melalui program musik di media massa dan saluran televisi khusus musik; kondisi sekarang berbeda secara signifikan dalam hal kebebasan penikmat musik untuk memilih. Di era sebelumnya, media mengatur audiens. Pada kondisi saat ini, audiens bebas memilih apa yang mereka mau. Media beralih fungsi dari sumber penyiar musik, menjadi fasilitator penyedia musik.
Simbol-simbol yang terkait dengan profil musisi, karya yang dibuat, dan segala sesuatu yang menyertai musik menjadi referensi untuk pendengar dalam membentuk identitas pribadi mereka. Perusahaan rekaman yang dikenal sebagai label major masih menguasai industri musik hingga saat ini, namun bermunculannya label indie membuat skena industri musik semakin menarik. Banyak contoh label indie yang sukses menembus pasar jalur utama musik secara penjualan. Batas antara label major dan label indie semakin kabur. Penggemar musik pun lebih peduli karya yang sesuai dengan selera mereka, tanpa terlalu memperhatikan label rekaman yang memproduksinya. Seiring dengan dikenalnya artis, berbagai pendamping turut menyertai, seperti: konser dan merchandise.
Bagaimana pendengar musik melekatkan identitas dirinya, dilakukan dengan berbagai cara. Supaya identitas dirinya ketara oleh orang lain, pendengar musik ini merelay seleranya melalui media sosial, bergabung dalam komunitas, mengenakan atribut yang berhubungan dengan artis musik, menonton konser artis tersebut, dan bentuk-bentuk lainnya.
Mengunggah apa yang sedang didengar di layanan streaming ke media sosial, sering dijumpai di platform seperti Instagram story. Di layanan streaming juga dimungkinkan untuk mengikuti atau diikuti oleh orang lain. Untuk mereka yang memiliki kesamaan selera bisa saling mengikuti satu sama lain, atau bisa jadi awal untuk memulai perbincangan mengenai kesamaan selera. Untuk beberapa genre musik, ada komunitas yang berperan sebagai forum untuk saling bertukar informasi. Sering juga tindakan proaktif pembuatan fans club oleh artis rekaman, manajemen, agensi, atau perusahaan rekamannya. Mereka yang tergabung dalam komunitas atau kelompok penggemar mengukuhkan identitas pribadi, sekaligus sebagai penguat identitas kolektif.
Mengenakan atribut yang berhubungan artis sering dilakukan oleh pendengar musik, sebagai unsur simbolis musik yang didengarkan dan identitas yang diusung artis tersebut. Merchandise adalah bentuk yang paling sering dipakai oleh penggemar musik. Menariknya, pada suatu penelitian ditunjukkan bahwa penggemar musik lebih cenderung memakai kaos band, dibandingkan solis. Bentuk kehadiran pendengar musik ke konser juga sebagai wahana pembentukkan identitas. Oleh karena itu, banyak penonton mengabadikan kehadirannya di konser dengan mengunggah foto-foto mereka di media sosial. Sering dijumpai juga penonton yang melakukan selfie dengan latar belakang panggung konser, sebagai indikasi bahwa mereka hadir di situ.
Musik sebagai bagian dari gaya hidup, memiliki pengaruh lebih dari sekadar suara yang didengar. Musik bisa menjadi bagian pembentuk identitas mereka yang mendengarkannya. Selanjutnya, identitas yang kongruen antara pribadi dan musik yang didengarkannya ini disebarluaskan melalui media sosial. Tidak ada pribadi yang murni menempatkan dirinya pada bandwagon effect, ataupun snob effect. Kemungkinan ada bauran dari keduanya dalam pembentukkan identitas diri, dengan kadar yang berbeda untuk kedua efek tersebut.
Commenti